FENOMENA DÉPRESSION HOSTILE PADA TOKOH UTAMA IMIGRAN ANAK DALAM NOVEL RAGE KARYA ORIANNE CHARPENTIER

The Dépression Hostile Phenomenon of The Main Character Child Immigrant in Novel Rage by Orianne Charpentier

Alifa Zahra

Program Sarjana Sastra Perancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran,
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor-Sumedang 45363, Indonesia,
Telepon/Faksimile (022) 7796482, Pos-el: alifazahra0512@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak fenomena dépression hostile pada kepribadian tokoh utama pada novel Rage karya Orianne Charpentier dan untuk menjelaskan bagaimana seorang anak yang berstatus imigran dan berjenis kelamin perempuan dapat berjuang menghadapi kejadian trauma berat di masa lalunya sendirian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Proses analisis diaplikasikan dengan pendekatan psikologi sastra yang didukung oleh teori Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebagai teori utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pengidap sindrom pascatrauma yang mengalami dépression hostile cenderung menunjukkan kemarahan mereka. Tokoh utama menunjukkan resistensi melalui proses isolasi diri dan dengan tidak mempercayai kembali lingkungan sekitarnya. Meskipun begitu, kompleksitas permasalahan psikologis tokoh utama sebagai Mineurs Isolés Étrangers (MIE) atau seorang minor pengidap PTSD dapat pulih berkat dukungan dari lingkungan sekitarnya. Orianne Charpentier mengemas permasalahan psikologis, permasalahan identitas anak menuju dewasa, dan nilai-nilai kemanusiaan terhadap sesama melalui sastra anak.

Kata kunci: imigran anak, dépression hostile, PTSD, dan sastra anak.

Abstract

This research aims to determine the impact of dépression hostile phenomenon on the personality of the main character in the novel Rage by Orianne Charpentier and to explain how the child as an immigrant and a woman can struggle with past severe trauma events by herself. The method used in this study is descriptive-analytics method. The analysis process is applied with literary psychology approach and assisted by the theory of Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) as the main theory. The result of this study shows that people with posttraumatic syndrome who suffer dépression hostile tend to show their anger. The main character shows resistance through a process of self-isolation and by no longer trusting its surrounding environment. However, the complexity of the psychological problems of the principal character as Mineurs Isolés Étrangers (MIE) or a minor can be recovered due to the support from its surrounding environment. Orianne Charpentier evolves psychological problems, issues of children’s identity toward adulthood, and humanity values towards others through the children’s literature.

Keywords: child immigrant, dépression hostile, PTSD, and children’s literature.

PENDAHULUAN

Penelitian ini menggaris bawahi fenomena depresi pada tokoh utama dalam novel Rage karya Orianne Charpentier yang berlatar belakang imigran anak atau MIE dalam istilah bahasa Perancis. Mineurs Isolés Étrangers (MIE) atau Mineurs Non Accompagnés (MNA), yaitu istilah bagi para imigran anak di bawah umur yang terpisah dari orang tua mereka. Dalam hukum Perancis, seorang minor tanpa pendamping (MIE/MNA) adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, tidak memiliki kewarganegaraan Perancis, dan terpisah dari perwakilan hukumnya di tanah Perancis (justice.gouv.fr, 2018). Rage sebagai tokoh utama menceritakan kejadian yang pernah mengancam nyawa dan mengganggu integritas dirinya sehingga memiliki trauma mendalam. Kebanyakan korban dari berbagai bentuk kekerasan dan bencana alam menunjukkan reaksi maladaptif berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah terjadi pemaparan perisitiwa traumatik. Pengalaman traumatik sampai taraf tertentu ini dapat menimbulkan distres psikologis pada korban.

Trauma berkepanjangan ini memberikan dampak terhadap kepribadian tokoh utama dan dapat memicu Post-Traumatic Stress Disorder atau yang dikenal dengan PTSD. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan psikologis bila seseorang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan pada kejadian traumatik yang mengancam kehidupan atau integritas fisik baik terhadap diri sendiri atau significant others dan mengakibatkan pengalaman rasa takut yang intens, tidak berdaya atau kengerian (American Psychiatric Association, 2000). Para pengidap PTSD ini mengalami beberapa gejala di antaranya gejala teragitasi atau reaksi emosional secara berlebih. Adapun gejala PTSD yang sering digambarkan oleh tokoh utama seperti, kemarahan, ketakutan, kecemasan, dan kepanikan di luar batas normal. Gejala teragitasi ini berkaitan dengan representasi nama tokoh utama. Nama (nom/prénom) bagi Rage adalah suatu identitas yang sakral, yang selalu ia sembunyikan. Dalam hal ini, Rage sebagai korban kekerasan perang dan kekerasan seksual mengisolasi diri dari lingkungan dan selalu menunjukkan kemarahannya sebagai upaya untuk melindungi diri.

Rage dalam bahas perancis memiliki dua konteks pengertian secara medis berarti penyakit rabies dan secara harfiah berarti kemarahan. Tokoh utama dalam novel yang terdiri dari 112 halaman ini memiliki keselarasan fungsi sebagai salah satu novel anak atau roman de jeunesse. Kisah di dalamnya merupakan metafora kehidupan secara isi (emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral) maupun secara bentuk (kebahasaan dan cara-cara berekspresi), dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya (Saxby, 1991: 4). Dalam hal ini, seorang anak yang seharusnya diberikan perlindungan dan kasih sayang yang cukup, justru mengalami tekanan yang berat dan harus berjuang untuk tetap hidup dan melawan traumanya sendirian. Akan tetapi, gejolak psikologis pada tokoh utama dibantu oleh kehadiran tokoh pembantu, seperti Artemis, anjing betina, dan Jean ketika dalam proses pemulihan psikologisnya.

Selain itu, tokoh utama memiliki permasalahan kompleks lainnya sebagai suatu wacana identitas. Permasalahan identitas yang dimiliki Rage sebagai seorang minor atau mineure ini berpengaruh pada psikologisnya, yaitu fenomena dépression hostile. Adanya keterkaitan kedua permasalahan ini mebutuhkan teori PTSD sebagai teori utama. Teori PTSD digunakan untuk membahas fenomena yang lahir ketika seseorang telah mengalami kejadian trauma berat di masa lalu. Pada prinsipnya, teori ini berkaitan dengan beberapa teori lain yang dapat mengupas secara rinci dimulai dari latar belakang, faktor penyebab, kumpulan peristiwa, dan dampak yang terjadi pada tokoh utama. Secara garis besar, penelitian ini menggunakan analisis secara sintagmatik dan paradigmatik yang digagas oleh Barthes. Untuk menuju permasalahan psikologis tersebut secara sistematis dan efektif, maka dilakukan analisis sintagmatik terlebih dahulu sebelum menuju analisis paradigmatik tentang bagaimana fenomena dépression hostile pada tokoh utama.

Unsur sintagmatik adalah unsur yang muncul satu per satu dan membentuk urutan. Hubungan sintagmatik ini terlibat dalam sekuen-sekuen yang disebut fungsi dalam cerita fiktif. Fungsi tersebut dibedakan menjadi fungsi utama yang merupakan inti dari sebab-akibat cerita dan katalisator atau peristiwa-peristiwa yang mendukung fungsi utama (Barthes, 1981: 15). Sekuen-sekuen ini berhubungan satu sama lain dan membentuk cerita yang utuh. Sekuen yang lebih besar disebut dengan sekuen naratif, yaitu rangkaian peristiwa yang menunjukkan suatu tahap dalam perkembangan sang tokoh (Schmitt dan Viala, 1982: 27-28). Adapun dua fungsi sekuen, sebagai pembalik situasi untuk kejadian-kejadian yang tidak terduga (Fonctions Cardinales) dan sebagai penjelas dari péripétie dan melahirkan péripétie baru tanpa membawa perkembangan sekuen (Fonctions Catalyses) (Schmitt dan Viala, 1982: 64-65).

Barthes (1981: 95) juga mengemukakan adanya konsep hubungan yang tidak terikat hubungan sebab-akibat, melainkan konsep yang tersebar dan yang saling melengkapi mencakup semua indikator. Terdapat dua unsur untuk menganalisis tokoh yaitu indikator dan informan. Indikator yang menerangkan sifat-sifat, identitas, perasaan, pendapat para tokoh, dan pandangannya atau suasana tertentu. Informan yang menjelaskan waktu dan tempat yang diuraikan secara eksplisit dalam cerita. Tokoh itu sendiri merupakan pelaku aksi dalam suatu cerita yang dimanusiakan, seringkali berwjud manusia, namun dapat juga berwujud benda, binatang atau entitas tertentu (keadilan, kematian, dan sebagainya) yang dapat dipersonifikasi (Schmitt dan Viala, 1982: 63).

Sebelum memasuki permasalahan psikologis, penting untuk mengetahui latar belakang tokoh utama sebagai imigran. Maka, teori penunjang yang relevan adalah teori push-pull factor oleh Everett S. Lee. Teori ini membahas faktor pendorong seseorang melakukan migrasi. Hal ini dijelaskan ke dalam empat faktor, yaitu faktor daerah asal, faktor daerah tujuan, faktor rintangan, dan faktor individu (Lee, 1995: 21). Teori PTSD sebagai teori besar penelitian ini terdiri dari berbagai teori yang menjelaskan faktor penyebab, gejala, dan dampak dari beberapa penggagas. Seseorang yang memiliki gangguan kecemasan setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang menimbulkan trauma termasuk fisik, pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, trauma perang, kecelakaan di jalan, luka bakar, dan bencana alam lainnya dapat diindikasikan PTSD (Nutt, 2009). Hal tersebut dapat disebut sebagai stresor atau faktor utama penyebab PTSD. Kemudian Kaplan dan Sadock (2007) membagi ke dalam tiga spesialisasi analisis faktor penyebab PTSD secara biologis, psikologis, dan sosial. Faktor penyebab PTSD pada tokoh utama dalam novel Rage yang relevan secara sosial, yakni: (1) menyaksikan peristiwa traumatik, (2) pernah berada dalam situasi terancam secara fisik, (3) pengalaman pelecehan seksual, (4) perpisahan dengan orang terdekat, (5) selamat dari tindak kekerasan, (6) kepindahan dan pengusiran paksa, (7) suasana terasing, (8) kehilangan sumber penghidupan dan privasi, dan (9) kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, dan kesehatan.

Adapun faktor latar belakang sosial yang dapat memberikan pengaruh tingkat PTSD pada seseorang menurut Weems, et al (2007). Terdapat empat dari delapan poin faktor relevan dengan Rage yang dapat meningkatkan resiko PTSD, yaitu: (1) faktor jenis kelamin, (2) faktor usia, (3) faktor tingkat pendidikan, dan (4) faktor gangguan psikologis lainnya ketika seseorang yang berada di tempat pengungsian, tempat konflik, dan terisolasi (Connor dan Butterfield, 2003). Selain itu, teori PTSD dalam buku Post-Traumatic Stress Disorder: Edisi Kedua oleh Schiraldi(2000) menyebutkan empat gejala PTSD yang relevan dengan objek penelitian, adalah: (1) terpapar stressor (exposure to stressor), (2) mengalami kembali kejadian traumatik (reexperiencing symptoms), (3) penghindaran (avoidance symptoms), dan (4) teragitasi atau rasa takut dan cemas yang berlebihan (hyperarousal symptoms). Setelah memahami latar belakang tokoh utama dimulai dari kisah hidupnya secara sekuensial dan dikupas secara paradigmatik, maka dapat ditemukan dampak yang terjadi pada tokoh utama.

Dalam novel terdapat indikasi Rage terpapar kekerasan seksual adalah keterkaitan antara PTSD dan pelecehan seksual seperti yang dijelaskan oleh Wisdom CS (2000) (dalam Phoebe Illenia. S, dan Handadari, 2011) bahwa dampak kekerasan seksual pada anak mengakibatkan gangguan stres pascatrauma atau PTSD. Anak yang mengalami kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang disebut Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Dampak pelecehan seksual terhadap anak yang merujuk seperti gejala PTSD menurut Arnow BA (2004) adalah adanya gangguan makan, terlalu rendah diri, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan gangguan psikologis, seperti somatisasi sakit saraf dan sakit kronis. Maka, keterkaitan antara para korban pelecehan seksual dan pasien PTSD ini menimbulkan dampak trauma yang sama seperti yang disebutkan Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002). Keduanya mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual terhadap anak-anak, yaitu: (1) pengkhianatan (betrayal), (2) trauma secara seksual (traumatic sexualization), (3) merasa tidak berdaya (powerlessness), dan (4) stigmatisasi (stigmatization). Kemudian, adanya perbaikan pada kepribadian tokoh utama yang artinya PTSD ini dapat disembuhkan dengan mengacu pada gagasan Charney DS (2004). Hal ini ditunjukkan pada akhir cerita setelah tokoh utama merasakan berbagai gejolak psikologis yang ditunjukkan melalui gejala PTSD yang ia alami sehari-hari. Terdapat lima poin pencegah yang dapat meminimalisir resiko PTSD pada seseorang, sebagai berikut: (1) dukungan lingkungan yang berasal dari teman dan keluarga, (2) menemukan kelompok pendukung setelah peristiwa traumatik, (3) tidak menyalahkan diri sendiri dan merasa mampu melewati masa-masa sulit, (4) memiliki strategi coping yaitu konsep untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi sebagai usaha untuk beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang diterima, dan (5) mampu bertindak dan merespons meskipun ketakutan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui fenomena depresi tokoh utama secara sistematis, maka langkah pertama adalah menganalisis latar belakang tokoh dan lingkungannya. Konflik tokoh utama dibantu oleh peran tokoh pembantu bernama Artemis dan tokoh pelengkap bernama Jean, Dylan, paman, bibi, dan sipir perempuan. Rage hanya mempercayai Artemis atas dasar persamaan latar belakang sebagai pengungsi perempuan yang mencari kehidupan baru di Perancis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Artemis menyandang status MIE juga seperti Rage. Hal ini ditemukan dalam sitasi berikut, “Artémis aussi avait été une MIE. Elle était arrivée en France quelques années plus tôt, seule, dans un état de profonde détresse. Elle était alors, comme elle le dit elle-même, au bord de la folie : elle ne savait plus qui elle était, elle avait l’impression qu’on avait tout détruit en elle. À chaque pensée trop douloureuse, à chaque souvenir trop aigu, elle entaillait son bras ; sentir le sang couler lui donnait un répit.” (Charpentier, 2017: 8).Artémis juga seorang MIE. Ia tiba di Perancis beberapa tahun sebelumnya, sendiri, dalam keadaan sangat tertekan. Ia pada saat itu, seperti yang dia katakan sendiri, di ambang kegilaan: dia tidak mengetahui lagi siapa dirinya, dia memiliki kesan bahwa semua dalam dirinya telah dihancurkan. Pada setiap pemikiran yang terlalu menyakitkan, pada setiap ingatan yang terlalu akut, dia menggoreskan lengannya, merasakan darah memberinya sebuah ketenangan.” (Charpentier, 2017: 8).

Sitasi tersebut memberikan informasi bahwa Artemis merasakan apa yang Rage rasakan sehingga ia dapat membantu Rage untuk menyelamatkannya dari kejadian traumatik di masa lalu. Mengacu pada pengertian MIE menurut justice.gouv.fr, usia tokoh utama dapat diperkirakan di bawah 18 tahun atau diklasifikasikan sebagai seorang anak di bawah umur. Kemudian pemakaian artikel une dalam kata une MIE dalam sitasi di atas menunjukkan genre feminin yang merujuk pada jenis kelamin perempuan. Selain itu, terlihat bahwa sebelumnya kedua tokoh mengalami kejadian pahit hingga harus melakukan pengungsian. Terutama bagi Rage, teror perang di negara asalnya membuat ia harus menyelamatkan diri dan mencari perlindungan. Dari analisis tersebut dapat diambil informasi bahwa Rage melakukan migrasi berdasarkan teori faktor push-pull (Lee, 1995: 21) atas dasar: (1) daerah asalnya yang mengalami invasi dan ketidak teraturan, (2) Perancis sebagai daerah tujuan yang lebih menjamin keamanan dan kesejahteraan, (3) hambatan usia yang masih di bawah umur sehingga mempengaruhi psikologis, fisik, dan proses adaptasi yang masih rentan dan bergantung pada orang dewasa, dan (4) faktor individu yang berasal dalam diri Rage bahwa ia ingin merdeka dari segala ancaman dan memiliki hak untuk hidup sejahtera.

Analisis ini juga memberikan informasi mengenai faktor yang dapat mempengaruhi tingkat PTSD. Pertama, Rage berjenis kelamin perempuan. Dapat diketahui bahwa perempuan dianggap lebih beresiko terkena PTSD disebabkan oleh rendahnya sintesa serotonin (Connor dan Butterfield, 2003). Kedua, Rage berusia anak-anak. Dalam kasus ini, usia anak dianggap masih bergantung kepada orang dewasa dan belum tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik maupun psikis. Ketiga, seseorang lebih beresiko terkena PTSD jika memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Rage memiliki keterbatasan pengetahuan tentang Perancis, budaya, dan bahasanya. Ia pun harus terputus sekolah akibat teror yang merusak negara asalnya. Keempat, Rage mengalami gangguan psikologis lain. Ia pernah hidup dalam pengungsian yang memiliki kekurangan fasilitas kesehatan. Akibatnya, Rage mengidap depresi, fobia sosial, dan mengalami gangguan kecemasan. Latar belakang sosial dan lingkungan tokoh utama membuat Rage menjadi seorang imigran yang beresiko dua kali lipat lebih besar terkena PTSD. PTSD yang dialami seorang MIE tersebut hanya dapat terjadi akibat faktor stresor atau hal traumatik yang menimpa seseorang. Dalam hal ini, stresor sebagai faktor penyebab utama PTSD juga termasuk dalam gejala yang dialami pasien PTSD.

Berdasarkan Kaplan dan Saddock (2007) ada 9 dari 12 stresor traumatik yang relevan dan merupakan penyebab PTSD pada tokoh utama. Hal ini dapat ditemukan dalam sitasi berikut, “À un moment, au loin sur la route, ils avaient vu se dresser un barrage. Des hommes armés leur avaient fait signe de se ranger sur le côté. Il y avait déjà quelques voitures arrêtées, et, à l’arrière de l’une d’elles, Rage avait cru voir des corps endormis. Elle avait croisé les yeux de son père dans le rétroviseur. Elle avait compris soudain : ils étaient arrivés jusqu’à la déchirure, ils étaient passés de l’autre côté du vrai. Là, on ne dormait que dans la mort. C’était la fin du monde.” (Charpentier, 2017: 5-6). “Pada satu titik, di luar jalan, mereka telah melihat sebuah hambatan. Orang-orang bersenjata telah memberi tanda pada mereka untuk berdiri di sisinya. Sudah ada beberapa mobil yang berhenti, dan di belakang salah satu dari mereka Rage merasa telah melihat tubuh yang terbaring. Dia telah melihat mata ayahnya di kaca spion. Dia tiba-tiba mengerti: mereka menumpahkan air mata, mereka telah pergi ke sisi lain dari yang sebenarnya. Di sana, kita hanya tidur dalam kematian. Itulah akhir dunia.” (Charpentier, 2017: 5-6). Dari sitasi tersebut dapat diketahui bahwa Rage menyaksikan sendiri kejadian traumatik dan ia pernah berada di dalam keadaan yang mengancam keselamatan jiwanya. Selain itu, ia mengalami perpisahan dengan orang terdekat. Dalam hal ini, keluarganya sedang mencoba menyelamatkan diri tetapi harus berpisah dan Rage menjadi sebatang kara. Kemudian, Rage selamat dari kejadian tersebut dan mengungsi ke Perancis bersama para pengungsi lainnya dengan kapal laut.

Stresor traumatik lainnya adalah kepindahan paksa dan mendadak yang akhirnya membuat Rage sempat mengalami shock culture dan menyandang status MIE. Lalu, setibanya di Perancis Rage berada dalam kondisi terasing seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perancis sama sekali asing baginya. Atas kejadian yang mengancam keselamatan jiwanya, Rage harus kehilangan sumber penghidupan dan privasi. Dalam hal ini, ketika terjadi invasi maka terjadi perampasan. Perampasan yang terjadi tidak hanya berupa materi bahkan hingga hak pribadi sebagai manusia yang merdeka dan perampasan nyawa, yaitu kehilangan orang terdekat. Terlebih, Rage mengalami pengasingan dan harus hidup di posko pengungsian dalam kondisi serba kekurangan. Hal ini terjadi terutama kekurangan pangan, fasilitas kesehatan, dan jauh dari tempat tinggal. Hal ini mengerikan bagi seorang anak yang harus dipenjara dan menyelundup ke dalam kapal agar dapat menemukan kehidupan yang lebih baik. Ia juga merupakan korban kekerasan seksual dari oknum laki-laki sehingga ia harus memotong pendek rambutnya untuk menyerupai laki-laki agar selamat dari ancaman tersebut.

Dépression Hostile

Terdapat empat yang dialami para pengidap PTSD dalam buku Post-Traumatic Stress Disorder: Edisi Kedua (Schiraldi, 2000). Pertama, selain terpapar stresor seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, Rage juga mengalami gejala-gajala PTSD yang dapat ditemukan dalam sitasi berikut, “Elle sent une colère infinie monter en elle, qui la brûle comme de la lave. Elle ne voit pas un chien, elle voit les dix jours de souffrance infligée ; elle voit ses oppresseurs ; elle voit sa propre honte et sa dévastation.” (Charpentier, 2017: 7). “Ia merasakan kemarahan yang tak terbatas dalam dirinya, yang bergejolak seperti lava. Ia tidak melihat seekor anjing, ia melihat 10 hari penderitaan yang timbul: ia melihat penindasnya, ia melihat rasa malu dan kehancuran dirinya sendiri.” (Charpentier, 2017: 7). Dapat diketahui bahwa sitasi tersebut mencakup semua gejala PTSD. Rage melihat kembali penindasnya ketika ia masih berada di tempat berkonflik. Penindas dan bentuk kekerasan yang diterima Rage merupakan salah satu stresor yang ia terima. Kemudian, para pengidap PTSD akan mengalami reexperiencing symptoms atau keadaan ketika seseorang mengingat kembali kejadian trauma yang tidak menyenangkan di masa lalu, seperti flashback, mimpi buruk, dan merasa kejadian tersebut berulang. Gejala ini dapat memberikan efek gangguan emosional ketika teringat kejadian, seperti berkeringat, jantung berdebar lebih cepat, dan sulit bernapas.

Dalam sitasi tersebut dijelaskan bahwa Rage melihat 10 hari penderitaannya. Penderitaan yang dimaksud adalah ketika halusinasinya muncul selama 10 hari, ia membayangkan seekor anjing berwajah manusia dan manusia berbadan seekor anjing. Berawal dari halusinasi-halusinasi tersebut Rage menjadi depresi dan mengalami gangguan kecemasan. Hal ini merupakan efek dari avoidance symptoms atau gejala penghindaran terhadap hal-hal yang dapat mengingatkan Rage terhadap traumanya, baik itu manusia, tempat, maupun aktivitas. Para pengidap PTSD mengalami takut terhadap masa depan, merasa teralienasi, mati rasa, memiliki rasa bersalah yang kuat, depresi atau kecemasan, kehilangan minat pada aktivitas yang disukai sebelumnya, dan mengubah kebiasaan rutin yang biasa dilakukan. Hal ini dilakukan tokoh utama dengan cara menyembunyikan nama aslinya dan tidak menceritakan masa lalunya kepada orang lain. Selain itu, di dalam sitasi Rage merasakan kemarahan yang bergejolak. Hal ini merujuk pada gejala terakhir PTSD, yaitu hyperarousal symptoms. Kondisi teragitasi ini erat kaitannya dengan fenomena dépression hostile yang diderita Rage. Pasien PTSD akan mengalami sulit tidur, sulit makan, dan sulit berkonsentrasi. Mereka akan mengalami reaksi fisik dan psikologis yang berlebihan seperti, mudah marah, kewaspadaan, panik, terkejut, cemas, dan ketakutan dalam intensitas tinggi.

Dampak PTSD pada tokoh utama ini dikaitkan dengan teori dampak pelecehan seksual terhadap anak. Di dalam cerita telah dijabarkan secara eksplisit bahwa Rage mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh laki-laki. Dia tidak lagi mempercayai manusia, kasih sayang, dan terutama laki-laki di dunia. Rage juga telah divonis dokter sebagai pengidap dépression hostile, sebagai salah satu efek dari sindrom pascatrauma seperti dalam sitasi berikut, « Dépression hostile », ce fut leur verdict. Ça et le syndrome de stress post-traumatique. Syndrome de stress post-traumatique. C’est ce qu’avaient la plupart des jeunes qui, comme elle, peuplaient la consultation MIE de l’hôpital (Charpentier, 2017: 8). « Dépression hostile », begitulah vonis mereka. Itu adalah sindrom stres pascatrauma. Gangguan stres pascatrauma (PTSD). Hal inilah yang dialami oleh sebagian besar remaja seperti dia, yang melakukan konsultasi MIE di rumah sakit. (Charpentier, 2017: 8).

Dampak yang terjadi pada tokoh utama juga dijelaskan ketika Rage merasa malu terhadap dirinya sendiri. Hal ini merupakan salah satu dampak pelecehan seksual terhadap anak menurut Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002). Sitasi tersebut menjelaskan dampak stigmatization atau stigmatisasi, keadaan ketika korban pelecehan seksual memiliki gambaran diri yang buruk, malu, dan merasa bersalah. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya sendiri akibat penganiayaan yang dialami. Selain itu, dampak betrayal atau pengkhianatan. Kepercayaan adalah hal fundamental bagi anak-anak karena mereka sangat menaruh kepercayaan kepada orangtua. Dalam kasus ini, Rage tidak mempercayai siapapun terutama laki-laki seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya. Dampak lain yang dapat mempengaruhi perilaku Rage adalah trauma secara seksual atau traumatic sexualization. Ia cenderung menolak hubungan seksual dalam artian ia tidak mudah untuk menyukai lawan jenis. Mengacu pada gagasan Russel (dalam Tower, 2002) yang menyatakan bahwa perempuan korban kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, di sini Rage juga tidak senang ketika melihat sepasang perempuan dan laki-laki sedang bermesraan atau melakukan aktivitas seksual. Terakhir, seseorang akan mengalami powerlessness atau rasa takut dan tidak berdaya pada korban. Hal ini biasanya disertai dengan mimpi buruk, fobia, dan kecemasan yang diikuti dengan rasa sakit. Korban merasa dirinya lemah, tidak mampu, dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan seseorang yang mengidap dépression hostile cenderung memperlihatkan reaksi berlebih dari perasaan takut dan cemas sebagai responsivitas emosi. Hal ini dapat dilihat dari gejala teragitasi yang mendominasi dalam setiap aktivitas Rage pada sekuen-sekuen yang telah dijelaskan. Gejala teragitasi (hyperarousal symptoms) sangat mempengaruhi anak usia remaja, umumnya dengan serangan panik (panic attack). Para pengidap depresi ini akan mudah marah (iritable) ketika privasinya diganggu. Mereka akan menjadi defensif terhadap diri sendiri dan orang lain untuk menyembunyikan ketidakberdayaannya. Seseorang yang mempunyai indeks perilaku kemarahan lebih tinggi, maka akan mempunyai tingkat depresi yang lebih tinggi. Mereka juga akan memiliki kecenderungan reaksi kecemasan berlebih ketika menghadapi hal yang tidak terduga, yang berasal dari pengalaman masa lalunya.

Fenomena dépression hostile lebih mudah menjangkit tokoh utama akibat latar belakang sosial dan lingkungan dan kejadian traumatik yang telah menimpanya. Fenomena psikologis ini memberikan dampak terhadap kepribadian Rage yang didominasi oleh kemarahan dan ketakutan. Kemarahan ditunjukkan atas bentuk perlawanannya terhadap ketidakadilan di masa lalu. Pasien PTSD cenderung mengisolasi dirinya dan tidak lagi mempercayai diri dan sekitarnya. Dalam kasus ini, peran antartokoh pembantu dan seekor anjing betina adalah jawaban bagi kesembuhan gangguan psikologis yang diderita Rage. Gangguan psikologis yang dialami anak berusia kurang dari sama dengan 18 tahun dapat diklasifikasikan sebagai depresi berat. Usia anak menuju dewasa ini merupakan fase saat anak mengalami krisis identitas, krisis kepercayaan diri, dan ketidakstabilan emosi. Dalam hal ini, Rage membutuhkan teman pendamping untuk bercerita mengenai kejadian berat yang telah terjadi di negara asalnya. Akan tetapi, kejadian traumatik ini kemudian membentuknya menjadi pribadi yang tertutup. Proses isolasi diri ini dilakukan Rage atas dasar kerapuhan seorang mineur atau minoritas, yaitu berjenis kelamin perempuan, usia di bawah umur, dan berstatus imigran yang tidak memiliki pendamping di tanah Perancis (MIE).

Novel yang dikategorikan sebagai roman de jeunesse atau bergenre sastra anak ini memberikan makna kepada para pembaca mengenai hak-hak dasar anak yang telah disepakati dalam konvensi hak anak oleh PBB. Dalam kasus ini, Rage berhak atas kelangsungan hidupnya dan memperoleh fasilitas kesehatan yang baik. Seorang anak juga berhak untuk berkembang dan untuk menjadikannya sebagai manusia dewasa yang beridentitas dan bermartabat. Anak berhak atas perlindungan dari diskriminasi dan tindak kekerasan. Selain itu, ia berhak untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan hidupnya. Rage terbukti dapat melawan depresinya dan menjadi pribadi yang lebih baik. Stresor akibat kekerasan perang adalah penyebab utama dari sindrom pascatrauma yang dideritanya.

Orianne sebagai penulis frankofon perempuan yang berfokus pada pertumbuhkembangan anak mengemas pergolakan psikologis seorang anak yang sedang mencari jati diri ke dalam pertanyaan sederhana, yaitu bagaimana Rage mendefinisikan kembali dirinya, terlepas dari kekelaman masa lalunya. Narasi dalam novel dikaitkan dengan isu yang sedang hangat dibicarakan seperti kasus imigran yang sering kali direndahkan dan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, ia mencoba merepresentasikan kemanusiaan ke dalam bentuk lain melalui karya sastra. Diskriminasi dan kekerasan direpresentasikan Oriane lewat tokoh pembantu seekor binatang buas yang terjangkit rabies. Binatang buas dalam cerita ini adalah seekor anjing betina yang mendapatkan siksaan dari seorang pria. Diskriminasi digambarkan ketika anjing betina ini tidak mendapatkan fasilitas kesehatan secara mudah. Ketidakadilan ini lah yang membuat tokoh utama dipenuhi kemarahan. Rage memperjuangkan hak hidup hewan ini seperti ia memperjuangkan kehidupannya. Rage merefleksikan nasibnya pada seekor anjing betina yang ia temukan ketika pesta di halaman belakang rumah Jean.

Optimisme pertemanan juga terlihat ketika Artemis, Jean, dan Dylan menemani dan membantu Rage berjuang untuk menyelamatkan dan mengadopsi seekor anjing betina rabies yang sedang sekarat. Hal ini merupakan jawaban dari PTSD dan depresi kemarahan yang diderita tokoh utama. Kepedulian satu sama lain, yaitu para pengidapnya memerlukan dukungan dari lingkungan sosial. Ketika proses pemulihan, Rage memiliki motivasi internal dan eksternal. Ia mempunyai strategi penyembuhan tersendiri untuk menghadapi peristiwa traumatik yang bersumber dari kekuatan dirinya. Rage juga dapat merespons dan bertindak ketika berada dalam keadaan terdesak meskipun mengalami ketakutan berlebih. Selain itu, Rage mampu melewati masa-masa sulit dan tidak terus menerus menyalahkan diri sendiri. Motivasi eksternal itu berasal dari dukungan lingkungan teman dan keluarga. Rage juga menemukan kelompok pendukung setelah kejadian traumatik yang menyelamatkannya agar segera keluar dari depresinya.

Anak yang merupakan korban kekerasan perang dan kekerasan seksual sulit untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah ia alami. Reaksi dari dépression hostile atau kemarahan berlebih menjadi penghambat proses penyembuhan tokoh utama. Untuk meredakan kemarahannya, maka dibutuhkan teman bermain yang dapat menyampaikan tekanan emosinya dengan bebas sehingga ia dapat berkembang secara optimal. Maka, simpulan yang dapat diambil adalah pergolakan psikologis tokoh utama untuk mendefinisikan kembali dirinya adalah simbol bahwa ketika seorang anak menginjak usia dewasa, mereka terlepas dari dikte orang tuanya untuk mulai mendefinisikan diri sendiri sesuai keinginannya. Konflik seorang MIE penyintas dépression hostile memberikan sudut pandang bahwa seorang minoritas berhak untuk mendapatkan persamaan. Dalam hal ini, kemarahan seekor anjing betina sebagai simbol dari resistensi tokoh utama terhadap ketidakadilan. Artinya, tokoh utama ingin menunjukkan bahwa setiap anak dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. DSM-IV-TR. Washington, DC.

Arnow BA. 2004. “Relationships between childhood maltreatment, adult health and psychiatric outcomes, and medical utilization”. The Journal of Clinical Psychiatry. 65 Suppl 12: 10–5. PMID 15315472

Barthes, Roland. 1966. Introduction à l’analyse structurale du récit. Communications 8. 1–27.

———————. 1981. L’analyse structurale du récit, Communication 8. Paris: Édition du Seuils.

Breslau N, Chilcoat HD, Kessler RC, et al. Vulnerability to assaultive violence: further specification of the sex difference in posttraumatic stress disorder. Psychol Med. 1999 ;29:813–821. doi: 10.1017/S0033291799008612.

Charney, D.S. 2004. Psychobiological Mechanisms of Resilience and Vulnerability: Implications for Successful Adaptation to Extreme Stress. American Journal of Psychiatry, 2, 369-391.

Charpentier, Orianne. 2017. Rage. Paris: Gallimard Jeunesse collection Scripto.

Connor, K.M, dan Butterfield, M.I. 2003. Posttraumatic stress disorder. Fokus The Journal of Lifelong Learning in Psychiatry. I(3),247-262.

Illenia, Phoebe dan Woelan Handadari, 2011. Jurnal Insan, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Vol.13. No.02. Agustus 2011.

Lee, Everett S. 1995. Suatu Teori Migrasi. Terjemahan Peter Hagul. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.

Nutt, D. J. 2009. Posttraumatic Stress Disorder: Diagnostik, Menejemen, and Treatment. UK. Informa Health care.

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. 2007. Anxiety Disorder in: Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkin. Hal 580.

Saxby, Maurice. 1991. The Gift Wings: The Value of Literature to children, dalam Maurice Saxby & Gordon Winch (ed). Give Them Wings, The Experience of Children’s Literature, Melbourne: The Macmillan Company.

Schiraldi, Glenn R. 2000. The Post Traumatic Stress Disorder, Sourcebook, Guide to Healing, Recovery and Growth. Boston : Lowell House.

Schmitt, MP, dan A., Viala. 1982. Savoire Lire. Paris : Didier.

Tower, Cynthia Crosson. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect. Boston: Allyn & Bacon.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT. Gramedia.

Weems CF, Carrion VG, Reiss AL. 2007. Stres, Posttraumatic Stres Disorder, and the Hippocampus Stres Predicts Brain Changes in Children: A Pilot Longitudinal Study on Youth. Pediatry;19:509-516.

Sitografi

(2018, Oktober 16). « FAQ Mineurs Non Accompagnés ». Justice.gouv.fr. Diakses pada 8 Oktober 2019 melalui http://www.justice.gouv.fr/art_pix/faq_mineurs_isoles.pdf

Wawancara Digital

Orianne Charpentier. 2019. L’intérêt de recherche. Alifa, 21 Mei 2019.